• Senin, 05 September 2016

    Teror Hantu Pocong Menagih Janji


    Zona Mistis - Cerita Mistis - Teror Hantu Pocong Menagih Janji.
    Belum genap 100 hari istrinya meninggal, kakakku sudah mulai keluyuran lagi, "tukmis" alias tidak tahan melihat "bathuk klimas" mungkin lebih cocok untuk menjuluki "keplayboyan"nya.

    Mbak Erni, istrinya meninggal karena kanker leher rahim. Memang sih, ketika istrinya masih segar sampai kemudian sakit dan akhirnya meninggal, kakakku terlihat sebagai laki-laki yang romantis.

    Keromantisannya juga terlihat ketika jenazah istrinya di masukan ke liang lahat, ia berkali-kali jatuh pingsan. Tangisnya luar biasa kencang, seribu janji manis terucap di bibirnya untuk setia sampai mati dengan almarhumah istrinya itu.

    Semua merasa iba, kecuali saya dan beberapa saudara laki-laki yang tau persis kelakuan kakakku itu. "dik erry, actingnya jaya boleh juga ya" bisik mas koes sambil melihat gaya kakakku yang menangis tersedu-sedu di makam.

    "gayane koyo filem india" seru mas dudik dengan intonasi jengkel. Aku hanya tersenyum melihat gaya mas jaya yang lebay, apalagi ketika kakakku dengan kencang memeluk gundukan tanah basah sambil berseru "err.. errr.. erni, kenapa kamu tega meninggalkanku, terus aku bagaimana?"

    Katanya sambil mengusap-usap kayu nisan yang bertuliskan nama mendiang istrinya itu.
    "aku melok koe wae er" (aku ikut kamu saja er) rintihnya dengan nada yang dalam. Banyak ibu-ibu yang bertakziah iba melihat rintihan mas jaya.

    Sampai-sampai bu faizal dengan tersedu-sedu mengelus punggungnya "sudah.. sudah nak jaya, ikhlaskan kepergian istrimu itu.. kasihan anakmu" ujarnya

    Mas dodik sebagai sesepuh (yang dituakan) diantara kami, terus menarik tangan mas jaya, dan meminta segera meninggalkan makam itu. Dengan tersedu-sedu, mas jaya bangkit sambil dipapah mas dodik untuk meninggalkan area makam. Pelan tapi pasti makam itu menjadi sepi kembali.

    Aku yang waktu itu ditugaskan untuk membayar ongkos penggalian kubur segera menghampiri cak di dan cak ri yang telah menyelesaikan tugasnya dengan baik. Dengan berbisik aku meminta mereka menjaga makam itu dengan baik sambil kusisipkan beberapa lembar uang 100.00 an untuk mereka berdua.

    Sudah hampir seminggu kakakku mengungsi di rumah ku, katanya takut selalu didatangi pocong. Sebagai adik yang baik tentu aku dan istriku menyambut dengan gembira meskipun dengan hati yang bertanya-tanya, benarkah alasannya itu, atau dia punya maksud lain supaya bisa lebih dekat dengan bu rita.

    Sehari dua hari memang tidak ada masalah. Tetapi begitu "tukmisnya" kumat, mulai gangguan pocong itu muncul. Untuk hari kamis ini saja, kemunculan pocong itu sudah lebih dari sekali. Pertama ketika mas jaya pulang dari "ngapel" bu rita janda cantik yang ngontrak di rumah abah salim.

    Begitu keluar dari pintu pagar, belum sampai 10 meter sudah ditampaki pocong dibawah pohon mangga persis di depan rumah pak dasiman. Melihat penampakan itu sudah tentu kakakuk lari tunggang langgang sambil berteriak "tolong ada pocong"

    Aku yang mendengar teriakan itu, tentu kaget bersamaan bapak-bapak yang lain langsung keluar dari rumah, dan mendapati kakakku jatuh bersimpuh dengan celana yang sudah basah kuyup terkencing-kencing.

    Dari wajahnya yang pucat, aku sudah tau bahwa kakaku di ganggu pocong itu lagi. Setelah diberi minum air putih, kakakku baru bisa cerita kalau dia habis diganggu pocong, pocong yang selalu muncul sejak 100 hari meninggal istrinya.

    "he.. he.. he.. jadi pak jaya ini selalu diganggu pocong, setiap kali naksir wanita lain ya?" kata pak gatot setelah mendengar cerita kakakku dengan runtut.

    Mendengar celetukannya itu, bu tutik dengan nada sewot langsung menjawab "makanya pak, nyebut.. jangan asal, wong baru ditinggal istri belum lebih dari 100 hari saja kok sudah pacaran lagi" katanya sambil masuk kerumahnya.

    Kami semua hanya bisa senyum-senyum, sementara kakakku hanya bisa tertunduk malu.
    "sudah pak rt, kakaknya diajak kerumah gus lutfi saja, barang kali bisa diurai kenapa selalu menemui kejadian seperti ini" kata pak hadi memberi saran. Akupun menyanggupi, dan segera membawa kakakku untuk masuk kerumah.

    Sampai dirumah istrikupun menanyakan keributan yang ada diluar, akupun dengan sabar menceritakan kejadian yang menimpa kakakku itu. Sementara mas jaya langsung masuk ke kamar dengan wajah ketakutan. Akupun menyempatkan diri untuk menengoknya "wes mas, tidur dulu saja.. jangan lupa sholat isya dan banyak-banyak istighfar" kataku.

    Kakakku hanya diam, diambilnya sebatang rokok sambil membuka jendela kamar lebar-lebar. Akupun segera menutup pintu, dan beranjak ke ruang keluarga untuk melihat tv. Belum sempat aku duduk untuk melihat acara televisi, sudah terdengar lagi kakakku teriak-teriak.

    "err toloooong.. toloooong poconge teko meneh" Mendengar teriakannya itu, aku dan istriku langsung berlari ke arah kakakku, dengan sigap kubuka pintu. Istriku langsung menjerit "maasyaa allahh" samar-samar kami berdua bisa melihat sosok pocong itu yang dengan berani "angguk-angguk" (melihat dengan mendoyangkan badannya ke kamar melalui jendela).

    Sekilas sosok itu mirip almarhumah mbak erni, matanya cowong, mulutnya yang terbungkus kapas menggumamkan kata-kata yang tidak jelas, namun ekspresinya jelas menampakkan rasa benci yang luar biasa pada kakakku jaya.

    Sementara mas jaya terpaku diam di ujung tempat tidur, wajahnya pucat dengan mimik yang sangat ketakutan. Aku kemudian membaca ayat qursi. Pelan tapi pasti pocong itu mundur, mundur tersapu angin. Sempat tercium bau parfum kesukaan almarhumah.

    Kami bertiga terdiam cukup lama, hanya suara tawa yang terdengar dari televisi. Setelah beberapa saat, aku kemudian menanyakan dengan serius kemunculan pocong yang mirip almarhumah.

    "wes ping telu er (sudah ketiga kali er), yang pertama di malang, yang kedua diujung gang dan yang terakhir "angguk-angguk" di jendela tadi" katanya lirih. "aku wedi banget (aku takut sekali) er, pocong itu muncul setelah aku mulai pacaran lagi" aku dan istriku hanya berpandangan.

    "kurang ajar koe mas" kata istriku galak "jasadnya mbak erni belum juga hancur, kamu sudah kambuh lagi" teriaknya dengan penuh emosi "pantesan mbak erni bangkit dari kubur, lah kelakuanmu ndak berubah, masih untung mbak erni tidak mencekikmu mas, kalau aku pasti kamu sudah tak cekik sampi mati" katanya emosi sambil keluar dari kamar dengan membanting pintu dengan keras sekali.

    Aku hanya bisa menghela nafas panjang, sikap emosi istriku mungkin ada benarnya, karena bukan kali ini saja kakakku itu mempermainkan wanita. Banyak cerita yang aku dengar darinya, tentang kelakuan-kelakuan itu dan semua berujung dengan aib. Melihat reaksi emosi dari istriku tadi, mas jaya hanya bisa terdiam pasrah.

    Paginya, aku memaksakan untuk menemui gus lutfi, kyai kharismatik yang sering memberikan tauziah yang menyejukkan hati. Untunglah pagi itu gus lutfi ada dirumah, setelah basa-basi sejenak, aku langsung menerangkan maksud dan tujuan menemuinya pagi itu, "begini gus, kakak saya ini sedang dirundang masalah, mohon diberikan wejangan agar hidupnya bisa lebih tenang"

    Gus lutfi dengan tajam memandangi kakakku, kemudian mengambil Qur'an yang ada diatas meja baca dan meminta kakakku untuk berwudlu. Dengan sigap mas jaya keluar, dan mengambil air untuk berwudlu. Setelah itu, gus lutfi memintanya mendekat, sambil berkata "coba njenengan buka salah satu ayat" sambil menyerahkan Qur'an itu.

    Dengan tangan gemetar mas jaya membuka Qur'an itu dan kemudian menyerahkan kepada gus lutfi. Gus lutfi lalu membuka Qur'an, persis di halaman yang sudah ditunjukaan kakakku tadi.

    "waduh, dunia jenengan itu penuh dengan dikitari wanita ya?, benar-benar lelanange jagad (laki-laki sejati)" katanya dengan mimik jenaka. "lelanangan jagad dos pundi to gus?" timpalku sambil memandangi gus lutfi penuh rasa ingin tau. "ya begitulah masnya ini, mas jaya, penuh dengan petualangan terhadap wanita, lah ini di Qur'an tergambar dengan jelas, koyo nonton sinetron" katanya sambil tertawa.

    Akupun ikut tersenyum maklum, sementara mas jaya tertunduk malu. Setelah itu, gus lutfi berkata dengan nada yang sangat serius "coba mas, sampeyan eling-eling. Apa sampeyan pernah berjanji atau punya salah pada seseorang, khususnya pada seorang wanita sampai akhirnya dia meninggal dunia?"

    "sebab menurut pandangan batin saya, pocong yang selama ini mengganggu jenengan itu kok kelihatannya seorang wanita yang pernah dekat dengan sampeyan?" lanjutnya dengan pandangan tajam kearah kakakku. Kakakku terlihat kaget, rasanya pertanyaan gus lutfi tadi cukup menghentakkan dadanya. Wajahnya jadi terlihat pucat.

    Dengan terbata-bata, kakakku menjawab "ya.. gus, saya memang pernah berjanji didepan jasad istri saya untuk tetap setia sampai mati, waktu itu saya tidak sadar gus, karena didorong kesedihan yang mendalam, sehingga janji itu terucap"

    "meskipun istrinya njenengan itu sudah dipanggil oleh gusti Allah, dan sudah tidak ada lagi di dunia ini, tetapi janji njenengan itu tetap janji lho. Kelihatannya janji njenengan sama almarhumah itu termasuk janji yang berat, buktinya sampai diliang lahatpun almarhumah masih tetap ingat dan masih menagih janji itu" katanya panjang lebar.

    Mendengar uraian itu, aku turut menghelah nafas panjang, sementara mas jaya terlihat berfikir sangat keras untuk bisa merenungi kata-kata yang dikeluarkan oleh gus lutfi tadi.

    "terus saya harus bagaimana gus, masak saya harus menghilangkan keinginan untuk berumah tangga lagi?" kata mas jaya

    "ya memang tidak gampang, wong jenengan sendiri yang bersumpah didepan liang lahat almarhumah" katanya dengan mimik yang lucu

    "terus apa selamanya saya harus terbelenggu dengan janji itu gus? maksud saya apakah saya tidak boleh lagi memadu kasih dan membina rumah tangga yang baru dengan wanita idaman saya lagi atau saya harus hidup menduda selamanya?" kata mas jaya sambil memandangi gus lutfi.

    "ya semua tergantung pada njenengan, wong jenengan yang bikin janji, sekarang mau tidak mau njenengan minta ijin pada pocong yang menyerupai almarhumah istri sampeyan pas ketika dia mewujud lagi" jawab gus lutfi dengan nada yang serius.

    "jadi saya harus nembung pada pocong itu ya gus untuk meminta ijin menikah lagi?" kata jaya dengan mimik ketakutan, "ya.. itu satu-satunya jalan" kata gus lutfi sambil memutar-mutar biji tasbihnya.

    Mendengar jawaban itu, kakakku terlihat resah dahinya berkerut tanda sedang berfikir hebat. Mungkin baginya lebih enak hidup menduda dari pada harus meminta ijin pada sosok pocong yang menyerupai istrinya.

    Iya kalau almarhumah mengerti dan memberikan ijin, kalau tidah "hiiii" katanya dengan bergidik ngeri. "kapokmu kapan mas, baru kali ini sampeyan kena batunya" kataku dalam hati. Suasana lalu diam, gus lutfi terlihat memandangi jam tangannya.

    Aku tau diri, dan kemudian pamit kepada beliau. Dengan takzim kucium tangannya sebagai tanda hormat. Gus lutfi kemudian mengelus pundakku sambil berbisik lirih. "tolong mas njenengan itu disuruh sholat yang tekun, perbanyak juga sholat taubat, taubat nasuha bukan taubat tomat. Mudah-mudahan diampuni dosa-dosanya". Aku hanya mengangguk sementara kakakku masih bengong, pandangannya masih kosong saat aku bimbing untuk keluar dari rumah gus lutfi.

    Diluar, kakakku baru sadar dan dengan terbata-bata lalu memohon diri sambil tangannya menyalami gus lutfi dengan pandangan yang lemas. Gus lutfi haya tersenyum dengan bijak kemudian merangkul kakakku sambil membawanya kearah sepeda motor yang sudah kujaga didepan pintu pagar rumahnya. Setelah mengucapkan salam, kami berdua kemudian beranjak meninggalkan rumah gus lutfi.

    "piye mas?" kataku membuka percakapan ditengah deru motor yang mulai jauh meninggalkan rumah gus lutfi, "mbuh err, aku pusing" kata mas jaya sambil memukul punggungku.

    Demikian cerita tentang kakakku jaya, sampai saat ini dia belum berani pacaran lagi. Entah karena dia belum memiliki keberanian untuk bertemu dengan pocong itu "face to face" atau mungkin dia sudah tobat atau apalah.

    Semoga cerita ini bisa kita gunakan sebagai cermin, bahwa kita harus berhati-hati dengan lisan kita. Mulutmu harimaumu kata pepatah, jagalah agar kita terhindar dari musibah akibat lisan kita.

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar